Setiap pertarungan politik antar calon Kepala Daerah maupun Presiden, bukan hanya menjadi penentu siapa yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan berikutnya. Tapi, juga jadi penentu posisi penting dalam struktur pemerintahan, mulai dari atas hingga ke posisi paling bawah. Bahkan, bukan hanya dalam ruang lingkup pemerintahan, di organisasi apapun, ini kerap terjadi.
Penyebabnya, keberpihakan terhadap pemimpin baru maupun peminpin lama, kendati bersikap netral saat kontestasi berlangsung. Biasanya, juga kena getahnya sebab pemimpin baru maupun yang lama terpilih kembali, orang di sekitarnya sedikit banyak mengalami perubahan. Dan, merekalah yang turut jadi penentu pion harus diletakkan di mana dan kuda harus di posisi mana.
Bawahan, harus memilih, mereka akan condong ke mana, apakah ke incumben atau penantang. Setiap pilihan memiliki konsekuensi yang akan ditanggung, bila yang didukung menang, bisa jadi posisinya tetap atau dapat durian runtuh, seketika melejit di posisi strategis. Namun idealnya, PNS, Camat, Kepala Dinas hingga Kepala Desa dan lain-lainnya dilarang untuk turut terlibat dukung mendukung apalagi sampai ikut kampanye.
Semuanya sudah diatur terkait pelarangan tersebut. Jangankan untuk kampanye, foto dengan pose tertentu yang memicu persepsi mendukung calon tertentu itu dilarang apalagi sampai kampanye. Namun faktanya, ketidak netralan itu dapat dilihat dengan mata telanjang, sebagaimana saat Pilpres kemaren, presiden diduga menggerakkan semua instrumen negara untuk mendukung anaknya agar terpilih jadi wakil presiden.
Di Pilkada Jember, isu netralitas menjadi problem utama sejak Hendy Siswanto dan Gus Fawaid ditetapkan sebagai Calon Bupati. Bawaslu sepertinya rutin menerima laporan dari pendukung masing-masing Paslon, timses keduanya sama-sama saling mengintip setiap gerak gerik dari kalangan PNS, Kades, Camat, Kadis dan lain sebagainya yang berpihak.
Seperti biasa, pertarungan yang hanya mempertemukan dua kontestan akan berlangsung panas. Pilkada Jember 2024 ini, berbeda dengan Pilkada 2019 yang mempertemukan 3 calon di gelanggang. Sekarang, dua calon sama-sama kuat sedang adu sihir, adu kecerdikan, adu ketangkasan, adu siasat dan adu kekuatan anggaran.
Sejauh ini, siapa yang unggul ? Belum ada hasil survei yang terpublikasikan ke publik siapa yang unggul antara Gus Fawaid dan Hendy. Mungkin, bila sudah mendekati 27 November baru bisa ditebak siapa yang akan menjadi orang nomor satu se Kabupaten Jember.
Sekarang, publik bisa melihat siapa saja yang berada di barisan Timses utama masing-masing paslon. Datanya sudah menyebar di group-group WhatsApp, merekalah nanti yang akan turut menjadi penentu arah kebijakan paslon terpilih. Lewat mereka, beragam kepentingan dapat tersampaikan secepat kilat, posisi jabatan, beasiswa hingga proyek bisa dikompromikan.
Hal demikian sudah lazim dilakukan, sebagaimana Presiden terpilih saat ini, sampai harus menambah lembaga Kementerian dan badan untuk mengakomodir partai pendukung dan partai yang merapat ke pemerintah. Bahkan, diantara mereka saling sikut agar bisa mendapatkan jatah posisi menteri lebih banyak.
Sialnya, untuk setingkat kabupaten dan provinsi, posisi strategis harus menempatkan PNS. Sementera Timses yang sudah berdarah-darah, jari jemarinya sampai kriting perang argumen di medsos, mulutnya sampai berbusa ke sana kemari berkampanye, tidak bisa menempati posisi strategis. Akhirnya, yang paling realistis bermain di wilayah kebijakan anggaran, khususnya proyek pembangunan, baik fisik maupun non fisik.
Ladang basah untuk profesional adalah BUMD, ini bisa dimanfaatkan bagi Timses bila ingin berada di sana atau membuka lahan baru agar semua Timses merasakan enaknya kua kekuasaan, dengan membuka tambang Blok Silo, tambang pasir besi di sepanjang bibir pantai selatan, tambang emas gunung Manggar dan lain sebagainya.
Penulis: Robith Fahmi
Penikmat kopi hitam