Notification

×

Iklan

Iklan

Muak!

Rabu, Juni 12, 2024 | Juni 12, 2024 WIB Last Updated 2024-06-12T05:11:40Z

 

Sketsa penulis: Robith Fahmi

Saya suka mengkritik, manakala melihat masalah yang menyangkut hajat hidup orang banyak, entah kenapa saya selalu ingin bersuara meski hanya lewat tulisan. Sejak duduk di bangku SMP, saya sudah terbiasa mengkritik, dulu pernah menyebarkan panflet di Masjid dan kamar-kamar pondok berisi kritikan kepada pengurus Pondok yang bertindak semena-mena. Waktu SMA, mengkritik kebijakan sekolah yang memprioritaskan penggunaan Gedung Sekolah untuk acara nikahan daripada kegiatan siswa. Di kampus, bersama teman sesama aktivis kampus turun ke jalan demonstrasi.


Dan, setelah lulus kuliah, terjun di dunia jurnalistik untuk menyuarakan teriakan orang-orang yang tertindas dan tersingkirkan oleh kebijakan semena-mena. Entah kenapa, hati ini selalu terdorong untuk berbuat manakala penindasan merajalela, pikiran tidak tenang ketika luapan emosi kepada penindas tidak ditumpahkan dalam bentuk tulisan maupun lewat orasi di jalanan. Barangkali, ini sudah bawaan lahir atau tuhan sudah mendesain demikian, Waalahua'lam....

Namun demikian, beberapa bulan terakhir, saya mulai muak untuk melakukan kritik sebab kritikan sepertinya percuma, pejabat publik otak dan hatinya telah mati, mereka menjadi bebal dan anti kritik. Bukan hanya saya yang bersuara, banyak kampus turut mengkritik putusan MK yang merubah syarat usia Capres-Cawapres. Namun, suara mereka hanya dianggap angin lalu bahkan ada pula yang diserang balik oleh orang-orang penguasa. Jauh sebelumnya, ketika akan lahir UU Omnibus Law Cipta Kerja, pengkritik didoxing dan dikriminalisasi lewat UU ITE.

Ketika polemik MK merubah syarat Capres-Cawapres banyak dikritik, sepertinya itu belum cukup bagi mereka untuk menghancurkan marwah hukum, kini penguasa kembali bergerak, giliran MA tunduk dibawah ketiaknya, merubah syarat usia calon kepala daerah. Banyak pihak menduga, ini bukan untuk kepentingan agar banyak pemuda maju sebagai calon Kepala Daerah tetapi agar Kaesang Pangarep, putra Jokowi bisa maju sebagai Cagup atau Cawagup di Pilkada mendatang.

Bersamaan dengan itu, penguasa tiba-tiba mengesahkan UU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Aturan ini semacam pukulan bagi kelas pekerja sebab setelah gajinya yang tidak seberapa dipotong oleh beragam iuran, kini upah meraka harus kembali rela dipotong untuk Tapera yang mana tidak jelas kapan mereka bakal mendapatkan rumah. Sama dengan aturan yang anulir MK dan MA, UU Tapera juga menuai beragam reaksi keras dari berbagai pihak, kritik dan debat dilakukan. Namun, penguasa memang bebal dan tidak mau tau urusan rakyat kecil, mereka benar-benar menjadi penguasa untuk melindungi keluarga, golongan dan kelas orang kaya.

Makanya, saya muak dengan semua ini, saya mencoba untuk menghindari berita maupun perdebatan soal penindasan yang dilakukan oleh penguasa tirani dan kroninya ini. Saya alihkan dengan nonton Drakor atau film-film menarik lainnya, ke depan mungkin sebaiknya membantu mereka kaum mustad'afin dengan berbagi, ya.. sebaiknya ke depan rakyat membantu takyat, tidak bisa lagi berharap kepada penguasa yang dzolim, yang menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan keluarga dan kelompoknya.

Menghancurkan marwah hukum hanya demi nafsu syahwat pribadinya dan keluarganya, sejarah akan mengabadikannya lewat catatan hitam bagaimana rezim tirani ini memerintah selama ini. Jangan pernah berharap hukum akan memihak yang kecil sebab semuanya sudah tunduk dibawah kendali penguasa, untuk memukul yang bersebrangan, Korps Baju Coklat, Loreng-Loreng hingga KaPeKa, hanyalah alat penguasa. Selamat datang di negeri Konoha, Cuk!!!

Robith Fahmi
Penikmat Kopi Hitam
×
Berita Terbaru Update