Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

RUU Penyiaran, Mengakomodir Kepentingan Siapa ?

Sabtu, Mei 18, 2024 | Mei 18, 2024 WIB Last Updated 2024-05-18T07:58:44Z

 

Sketsa Penulis Robith Fahmi

Entah kenapa, meski tidak bisa membuktikannya. Tapi, saya yakin RUU Penyiaran ini adalah pesanan pihak-pihak yang selama ini selalu terpojokkan dengan hasil jurnalisme investigasi. Bisa penguasa, pengusaha atau orang maupun kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan. Atau, apakah ini karpet merah kepada penguasa berikutnya yang notabene dari militer, agar yang akan datang dia bebas melakukan apa saja, sebagaimana perkataannya "Jangan ganggu".


Entahlah, kita tidak bisa membuktikannya. Namun, RUU Penyiaran bukan memberikan dampak baik kepada masyarakat sipil dan jurnalis untuk bersuara, ini justru membegal mulut dan pena mereka. Sebenarnya, apa tujuannya RUU Penyiaran ? Kalau bukan pembungkaman. Dalam negara demokrasi, seharusnya media sebagai pilar demokrasi dijaga dan dirawat agar kebebasan terus hidup dan tumbuh. Bukan justru dijagal dengan cara yang menjengkelkan, RUU dibuat secara serampangan, tiba-tiba muncul, terlihat bila aturan disusun kejar tayang.

Draf Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran berisi 14 BAB dengan total 149 Pasal. Pada pasal 8A huruf (q) KPI menangani sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Padahal, UU No 40 Tahun 1999 sudah diatur, terkait sengketa pers ditangani oleh Dewan Pers. Keberadaan RUU Penyiaran ini tidak ada urgensinya sebab aturan terkait sengketa pers telah ada, DPR sebaiknya menyusun aturan perampasan aset yang belum ada aturannya daripada menyusun aturan yang kemudian menyebabkan tumbang tindihnya peraturan.

Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c) tersebut: “Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi."

Aturan konyol macam apa lagi ini, meski tidak membredel media sekaligus. Namun, nyawa media ingin dicabut dari tubuhnya dengan pelarangan jurnalisme investigasi ini sebab walau bagaimanapun, kekuatan media massa ada pada hasil investigasi. Terkadang, hasil investigasi mampu memaksa penguasa merubah keputusan-keputusan jahatnya, menyeret pihak-pihak yang bersekongkol untuk merusak negeri ini dari kerakusan manusia-manusia yang kerasukan setan.

Pasal 51 huruf E adalah kesimpulannya, mereka ingin membungkam kritik dengan jeruji besi, "Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," bunyi Pasal 51 huruf E.

Selama ini, dalam UU No 40 Tahun 1999, bila terjadi sengketa pers, selama itu produk jurnalistik, keputusannya tidak sampai ke ranah hukum. Terkecuali, bukan produk pers maka Dewan Pers tidak akan memberikan keputusan apapun. Lahirnya UU ITE, telah banyak memakan korban, kalangan aktivis maupun akademisi tidak henti-hentinya mendesak pemerintah agar merevisi pasal-pasal karet di dalamnya. Tapi, tidak pernah ada respon, sekarang pemerintah tidak puas dengan UU ITE sehingga harus kembali menyusun separangkat aturan jahat untuk membungkam aktivis, akademisi, sipil dan khususnya jurnalis dengan RUU Penyiaran.

Publik harus bertanya-tanya, sebenarnya RUU Penyiaran ini untuk mengakomodir kepentingan siapa ? Siapa penyusunnya ? Siapa dibalik lahirnya RUU ini ? Kenapa mereka sejahat itu terhadap masa depan negerinya sendiri ?

Robith Fahmi
Penikmat Kopi Hitam
×
Berita Terbaru Update