Proses pemakaman Pak Har setelah Mahrib |
Namanya Sayu. Tapi, saya memanggilnya Pak Har, karena anaknya bernama Sahri yang dipanggil Har. Ini kebiasaan di sini, ketika sudah punya anak, maka nama anaknya yang menjadi penggilan barunya.
Pak Har sangat dekat dengan keluarga kami, ketika abah masih ada, Pak Har yang merawat sawah dan kebun, mulai menanam hingga memupuknya dan sampai panen. Kesehariannya mbecak, ketika saya kelas 4 Sekolah Dasar, abah menyuruh saya les bahasa Inggris dan Pak Har yang selalu mengantarkan tiap hari Senin dan Jum'at ke tempat les, tidak peduli panas maupun hujan lebat sekalipun, Ia menjemput saya dan adik ke rumah.
Itu berlangsung sampai lulus SD, kurang lebihnya 3 tahun Pak Har mengantarkan saya ke tempat les. Kadang, saya kasihan dengannya, saat panas Ia ngengkol becak kesangannya sambil ngos-ngosan, apalagi kalau sudah hujan lebat, Ia basah kuyup kedinginan.
Pak Har hanya tinggal berdua dengan istrinya, anak semata wayangnya menikah dengan orang kangean. Jarang sekali pulang, paling satu tahun sekali atau bisa dua tahun sekali, katanya, ongkos dari Kangean ke Jember mahal, bisa sampai dua jutaan, sementara Sahri sendiri di sana hanya melaut mencari ikan.
Meski tinggal berdua, Pak Har dan Buk Har terlihat bahagia, saya tidak pernah mendengar pasangan ini mengeluh tentang kehidupan, mereka ikhlas dan sabar menjalaninya, Buk Har hanya di rumah tidak bekerja, menunggu Pak Har pulang kerja yang kadang mbecak dan kadang ke sawah.
Hal yang paling diingat dari Pak Har adalah ketika bulan Ramadhan tiba. Biasanya, habis berbuka puasa, Pak Har sudah duduk santai di depan Musala munggu adzan Isya'. Kadang, masih mualiq, Pak Har sudah adzan duluan, kami membiarkan saja, saya maupun kakak dan pak lek hanya tertawa melihat tingkah Pak Har, dia muadzin paling gercep, selama tubuhnya sehat, hampir tidak pernah Ia meninggalkan jamaah Salat taraweh.
Bulan Ramadhan kemaren, Pak Har beberapa kali tidak datang ke Musala, suaranya beberapa kali tidak terdengar. Saya bertanya-tanya kenapa, ternyata kesehatannya mulai kurang baik. Dan, dua bulan lalu, Pak Har tiba-tiba ngedrop, Ia tidak bangun dan lupa dengan semuanya--termasuk kepada saya. Saat saya menjenguk, Ia hanya menoleh tidak mengatakan apa-apa, beberapa hari kemudian Ia terlihat mulai membaik, saya melihatnya sedang duduk di depan rumahnya ketika sedang lewat. Saya mbatin Pak Har akan sehat kembali, seperti sediakala.
Namun, kemaren sore saat saya pulang kerja, di depan rumah Pak Har sudah banyak orang, saya tidak berani menduga-duga, sampai di rumah, parkir mobil dan tanya ke mbah, ternyata dugaan saya benar, Pak Har telah pergi. Muazdin tiap bulan Ramadhan itu telah tiada, suara seraknya tidak akan kami dengar kembali, selamat jalan Pak Har, saya bersaksi Pak Har orang baik.
Penulis: Robith Fahmi