Robith Fahmi |
Kenaikan harga BBM yang sekian kali lipat ini, pastinya akan berdampak pada kenaikan inflasi sebagaimana yang terjadi di negara-negara eropa ketika mereka melakukan embargo kepada Rusia, seketika harga minyak melambung tinggi. Akibatnya, harga BBM di negara Paman Sam pun meroket.
Saat BBM naik, dampaknya harga kebutuhan pokok pasti naik sementara ekonomi masyarakat masih belum sepenuhnya pulih setelah dihantam Pandemi Covid. Bila demikian, dapat dipastikan masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah akan menekan pengeluaran, paling-paling hanya untuk kebutuhan konsumsi.
Mereka yang kehidupannya berada di bawah garis kemiskinan, bukan lagi menekan pengeluaran, kalau biasanya makan dengan tahu dan tempe, bisa jadi ke depan hanya makan dengan garam, sesekali dikasih kecap agar lebih gurih.
Lantas, apakah subsidi BBM adalah solusi? Saya pikir ini sekedar kebijakan pencitraan semata, untuk menina bobokan masyarakat kelas bawah agar tidak bergejolak, sambil lalu menaikkan elektabilitas para politisi dengan basa basi cengar cengir di depan kamera menyampaikan bahwa masyarakat tidak perlu kuatir sudah ada bantuan.
Ketika masyarakat hanya belanja untuk konsumsi, maka perusahaan akan mengurangi produksi sebab barang menumpuk, di pasaran tidak terjual. Akibarnya pun mengerikan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) barangkali akan diambil oleh perusahaan untuk menekan pengeluaran dikala produksi tidak baik-baik saja.
Kenaikan BBM ini barangkali juga dampak dari embargo kepada Rusia. Dan, sebagaimana yang disampaikan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno bahwa minyak Rusia saat ini dijual murah dan pemerintah sedang mempertimbangkan untuk membelinya sebab harus menggunakan mata uang Rubel.
Barangkali, pemerintah tidak jadi mengambil minyak dari Rusia setelah melalui berbagai pertimbangan dan memilih mencekik rakyatnya dengan menaikkan BBM. Sekali lagi, subsidi BBM bukanlah solusi di tengah ambruknya ekonomi masyarakat setelah Pandemi Covid.
Penulis: Robith Fahmi