Karikatur Foto Robith Fahmi |
Masa kecil dulu, ketika masih Sekolah Dasar, satu kelas pasti ada yang kelewat pinter pelajaran tertentu. Seperti teman saya, namanya Badrus, pinter matematika. Beruntungnya, saya selalu duduk sebangku dengannya. Dan, matematika adalah pelajaran yang sudah saya talak sebelum saya dilahirkan ke dunia--sulitnya menyebabkan pusing dan darah tinggi. Meski tergolong pelajaran yang jelimet, saya selalu lolos dari remidi, sebab tiap ulangan, Badrus tidak pernah pindah tempat duduk apalagi pindah sekolah. Tidak perlu ditanyakan apa hubungannya Badrus duduk di samping saya dan ulangan matematika saya yang tidak pernah remidi, semesta sudah tau dan tuhan telah memaafkan.
Soal-soal yang seharusnya dikerjakan dengan waktu cukup lama, Badrus sekedar memainkan jari-jarinya, soal yang rumit pun terselesaikan dengan capat, dalam otaknya sepertinya dipenuhi dengan angka, Ia mencatat soal yang ditulis guru di papan tulis sekaligus mengerjakan dengan jawabannya, seperti tidak berfikir apa-apa, seolah sedang memindahkan catatan, sesekali Ia memainkan jari kirinya lantas kemudian meneruskan kerjaannya menjawab soal.
Setelah lulus Sekolah Dasar, kami tidak bersama lagi, melanjutkan di sekolah yang berbeda. Apalagi, setelah lulus SMA, saya melanjutkan kuliah, namun Badrus yang cerdas itu harus meninggalkan angan-angannya dan cita-citanya mengenyam bangku kuliah sebab ibunya yang sudah menua sudah tidak kuat mencari nafkah, ayahnya telah tiada sejak Badrus masih balita. Dan, kakak perempuannya diceraikan suaminya meninggalkan 1 anak, itu semua menjadi tanggung jawabnya. Sahabat saya ini, terpaksa harus merantau ke Bali, agar kehidupan terus berlanjut, ibunya bisa beristirahat dan kakaknya bisa membelikan susu untuk buah hatinya.
Melihat kehidupannya Badrus, sepintas berfikir tuhan tidak adil. Sebab, dia dipaksa dengan keadaan, kondisi ekonomi dan keluarga yang mengharuskannya meninggalkan semuanya. Bila dibandingkan dengan saya, Badrus jauh lebih cerdas. Tapi, hanya karena orang tua saya yang mampu secara ekonomi, sehingga berkesempatan mengenyam bangku kuliah. Seharusnya, Badrus yang lebih berhak untuk melanjutkan ke perguruan tinggi sebab dia memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi sarjana yang bisa berkontribusi kepada bangsa dan negara.
Namun, seandainya dibalik, saya berada di posisinya, dapat dipastikan saya tidak akan mampu menanggung beban hidup yang amat berat itu. Makanya, tuhan memilh Badrus sebagai manusia pilihannya, untuk menjalankan amanah tuhan dengan menjaga keluarganya dari lapar dan dahaga, Ia tidak membiarkan ibunya harus mengeluarkan keringat untuk sebutir nasi, tidak membiarkan ibunya berjalan terseot-seot, bebannya Ia ambil semua. Meski Badrus bukan orang kaya harta, dia adalah pilihan tuhan yang kaya hati.
Punulis: Robith Fahmi, jurnalis dan petani milenial