Robith Fahmi sedang membaca buku, Doc: Istimewa |
Menjadi warga Jember itu patut bersyukur--khususnya para lelaki yang senangnya metingkrang di Warung Kopi, kenapa? Sebab Warung Kopi biasanya menjadi tempat bertukar pikiran dan lahirnya gagasan besar. Apalagi, kopi Jember masuk kategori kopi kelas Internasional dan sempat di launching sebagai kopi terbaik oleh Bupati Jember di Bandara, bukan di Warung Kopi atau Kebun Kopi. Tapi, di Bandara.
Setiap gagasan perlu di diskusikan. Dan, warung kopi adalah tempat paling nyaman, wajar bila warkop di Jember menjamur, selain banyak perguruan tinggi yang menjadi menarik pengusaha untuk berbisnis warung kopi, juga kebiasaan pemudanya yang suka berlama-lama nongkrong di warkop.
Sejak Hendy Siswanto berkuasa, ruang diskusi dan bertukar pikiran mandek, cenderung lebih ke rasan-rasan. Semisal, ketika Hendy mendadak namanya melambung ke saentero nusantara, mulai tukang becak hingga tukang ngarit yang dibicarakan soal honor jenazah Hendy Siswanto. Padahal, sangat tidak mungkin orang nomor satu di Jember ini ikut mengkafani jenazah, memandikan hingga menggali kuburan--tidak mungkin.
Pernah saya menguping pembicaraan bapak-bapak di Warkop yang intinya mereka getun atas keterpilihannya Hendy Siswanto sebagai Bupati Jember sebab belum genap satu tahun berkuasa sudah melukai hati rakyatnya. Bapak-bapak itu lantas bertanya-tanya, "Bagaimana ke depannya, bila di awal sudah demikian?"
Rupanya, prediksi bapak-bapak di Warkop itu benar terjadi, tak berselang lama nama Hendy Siswanto menjadi perbincangan hangat di media sosial, kali ini soal anggaran 5 miliar untuk Golf. Di tengah masyarakatnya yang menderita setelah dihantam oleh Pandemi Covid-19, justru sang rezim mengalokasikan anggaran untuk lapangan golf yang sejatinya olahraganya para konglomerat, konglomelarat minggir.
Infonya, anggaran tersebut semula bukan 5 miliar melainkan 8 miliar. Namun, setelah berdiskusi dengan DPRD akhirnya diambil jalan tengah yakni 5 miliar. Konon, anggaran tersebut lebih besar daripada anggaran untuk penanganan ibu hamil dan stunting yang cuman 3 miliar sekian. Padahal, angka kematian ibu hamil di Jember cukup tinggi demikian pula dengan angka stunting.
Alasan dialokasikannya anggaran 5 miliar untuk golf, kata Hendy, saat menjawab kritikan fraksi PKB di DPRD, bahwa nantinya akan menimbulkan multiplayer effect ekonomi berupa naiknya investasi. Ah masak? Mengingat tempat main golf di Jawa Timur yang bisa dijadikan tempat para konglomerat buang uang receh juga ada, seperti di Taman Dayu Pasuruan yang cukup terkenal, milik bohir Ciputra.
Saya tidak yakin anggaran 5 miliar itu, dalam jangka waktu 5 tahun bisa mendatangkan banyak investasi apalagi bisa menaikkan PAD Kabupaten Jember--sepertinya sangat sulit. Dan, efek ekonomi kepada masyarakat kalangan bawah tidak akan besar sebab tidak mungkin pedagang asongan jualan di lapangan golf dan sangat sedikit para konglomerat yang bersedia membeli minuman yang dijual pedagang asongan kalau tidak terpaksa.
Sesungguhnya, bila ingin meninbulkan efek ekonomi kepada kalangan bawah, saya pikir sepak bola adalah pilihan yang tepat sebab seporter bola yang dari berbagai kalangan sudah pasti menjadi penikmat penjual asongan. Tapi, Hendy justru menunggu Persid Djember juara lebih dulu untuk memberikan alokasi anggaran di APBD.
Anggaran 5 milar untuk golf oleh netizen banyak ditolak. Sehingga, muncullah isu dari salah satu media daring untuk menarik simpati publik, mulai memunculkan kondisi lapangan golf Gelantangan yang tidak terawat hingga nasib para pekerjanya. Isu ini sepertinya sengaja dihembuskan agar publik berfikir bahwa anggaran 5 miliar itu benar-benar dibutuhkan untuk perbaikan lapangan golf.
Padahal, bila dibenturkan dengan isu lainnya, soal perbaikan lapangan golf dan pekerjanya yang hanya beberapa orang, tidak begitu urgen dibandingkan dengan tingginya angka kematian ibu hamil atau masih banyaknya masyarakat tidak mampu yang tinggal di pinggir bantaran sungai dengan konsisi memperihatinkan. Seharusnya, mereka di prioritaskan bukan justru lapangan golf, sungguh logika yang mengecewakan.
Sebagai masyarakat kalangan bawah, saya dan mungkin pembaca sekalian yang warga Jember, hanya bisa melihat dagelan ini, apakah akan terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya atau akan berakhir sampai di sini, Wallahua'lam...
Penulis: Robith Fahmi, penulis dan petani milenial