Robith Fahmi, Doc:Politikitik.com |
Berbicara
kebijakan, tidak terlepas dengan intervensi sebab proses pembuatan kebijakan
sarat dengan politis. Intervensi bisa datang dari pihak-pihak yang berkepentingan,
mulai dari Partai Politik, Ormas, LSM, Tokoh Masyarakat hingga preman politik.
Mereka semua, seolah bergerak secara legal dengan mengatas namakan rakyat,
biasanya tujuan utamanya adalah anggaran yang akan digelontorkan pada setiap
kebijakan atau asas kemanfaatan terhadap kelompok mereka.
Kepala
Daerah maupun presiden pun seringkali tidak berkutik atas kuasa mereka, sebagaimana
ramai di pemberitaan bahwa Presiden Jokowi di periode kedua ini, dinilai
melangkah seolah bukan atas kehendak dirinya, ada yang menyetirnya dari
belakang. Bila penilaian tersebut benar, maka wajar bila kemudian kebijakan
yang diambilnya tidak memenuhi harapan masyarakat, sebagaimana lahirnya UU KPK
hingga Omnibus Law yang ditolak segenap lapisan masyarakat. Namun, Presiden
tidak bergeming atas berbagai penolakan meski demonstrasi di mana-mana.
Bila
kelompok kuat yang berkuasa atas negara tidak dipenuhi keinginannya, dampaknya
akan kondusifitas. Contohnya, dalam ruang lingkup terkecil di Kabupaten Jember
ketika Bupati Faida berkuasa, dia menggunakan kekuasaannya untuk bertindak atas
kehendak dirinya, tidak mendengarkan bisikan-bisikan dari samping kanan dan
kirinya, tegak lurus jargon yang diusungnya. Akibatnya, hampir 5 tahun masa kepemimpinanya
selalu digoyang oleh preman politik dari jalanan. Bahkan, partai politik yang
ditinggalkannya juga turut menyerang melalui kakinya di DPRD.
Sebenarnya,
hal intervensi preman politik akan terdengar aneh bagi orang awam. Tapi, hal
tersebut merupakan hal biasa sebab proses terpilihnya Kepala Daerah hingga
presiden tidak terlepas dari peran Ormas, Partai Politik pengusung maupun
kelompok-kelompok lainnya, sehingga ketika sudah terpiliha dan yang kalah akan
bertindak sebagai yakuza di jalanan atau menggunakan kekuatannya di DPR.
Sebagaimana DPC Parta PDI Perjuangan Kabupaten Jember yang memilih menjadi
oposisi setelah jagoannya tumbang. Dan, pengangkatan OPD yang seharusnya
menjadi hak preogatif bupati, justru menjadi bahan bancakan oknum partai
politik pendukung bupati terpilih.
Ironis
memang. Tapi, beginilah dunia tipu-tipu, menjadi oposisi dengan menyerang
kebijakan atau mendukung untuk menikmati anggaran dan manfaat setiap kebijakan.
Penulis: Robith Fahmi
Dosen dan jurnalis lepas