Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kebijakan Publik dan Intervensi Preman Politik

Jumat, Februari 12, 2021 | Februari 12, 2021 WIB Last Updated 2021-11-01T11:14:44Z

 

Robith Fahmi, Doc:Politikitik.com

Berbicara kebijakan, tidak terlepas dengan intervensi sebab proses pembuatan kebijakan sarat dengan politis. Intervensi bisa datang dari pihak-pihak yang berkepentingan, mulai dari Partai Politik, Ormas, LSM, Tokoh Masyarakat hingga preman politik. Mereka semua, seolah bergerak secara legal dengan mengatas namakan rakyat, biasanya tujuan utamanya adalah anggaran yang akan digelontorkan pada setiap kebijakan atau asas kemanfaatan terhadap kelompok mereka.


Kepala Daerah maupun presiden pun seringkali tidak berkutik atas kuasa mereka, sebagaimana ramai di pemberitaan bahwa Presiden Jokowi di periode kedua ini, dinilai melangkah seolah bukan atas kehendak dirinya, ada yang menyetirnya dari belakang. Bila penilaian tersebut benar, maka wajar bila kemudian kebijakan yang diambilnya tidak memenuhi harapan masyarakat, sebagaimana lahirnya UU KPK hingga Omnibus Law yang ditolak segenap lapisan masyarakat. Namun, Presiden tidak bergeming atas berbagai penolakan meski demonstrasi di mana-mana.


Bila kelompok kuat yang berkuasa atas negara tidak dipenuhi keinginannya, dampaknya akan kondusifitas. Contohnya, dalam ruang lingkup terkecil di Kabupaten Jember ketika Bupati Faida berkuasa, dia menggunakan kekuasaannya untuk bertindak atas kehendak dirinya, tidak mendengarkan bisikan-bisikan dari samping kanan dan kirinya, tegak lurus jargon yang diusungnya. Akibatnya, hampir 5 tahun masa kepemimpinanya selalu digoyang oleh preman politik dari jalanan. Bahkan, partai politik yang ditinggalkannya juga turut menyerang melalui kakinya di DPRD.


Sebenarnya, hal intervensi preman politik akan terdengar aneh bagi orang awam. Tapi, hal tersebut merupakan hal biasa sebab proses terpilihnya Kepala Daerah hingga presiden tidak terlepas dari peran Ormas, Partai Politik pengusung maupun kelompok-kelompok lainnya, sehingga ketika sudah terpiliha dan yang kalah akan bertindak sebagai yakuza di jalanan atau menggunakan kekuatannya di DPR. Sebagaimana DPC Parta PDI Perjuangan Kabupaten Jember yang memilih menjadi oposisi setelah jagoannya tumbang. Dan, pengangkatan OPD yang seharusnya menjadi hak preogatif bupati, justru menjadi bahan bancakan oknum partai politik pendukung bupati terpilih.


Ironis memang. Tapi, beginilah dunia tipu-tipu, menjadi oposisi dengan menyerang kebijakan atau mendukung untuk menikmati anggaran dan manfaat setiap kebijakan.


Penulis: Robith Fahmi

Dosen dan jurnalis lepas

 

×
Berita Terbaru Update