Poster Hari Jadi GTM, Lihat dan Teliti, ada gambar saya yang turut dijual di sana. |
Saya pernah membaca ranking literasi Indonesia berada di urutan paling buncit, kalau tidak salah 62 dari 65 negara, koreksi bilah salah. Namun, seingat saya berada di urutan 60-an. Ini bukan hanya memilukan tapi juga tragis, di tengah menjamurnya lembaga pendidikan namun tidak sejalan dengan pertumbuhan dunia literasi--khususnya literasi menulis dan membaca.
Beberapa waktu lalu, saya sempat bermain ke Perpustakaan Daerah (Perpusda), iseng-iseng menanyakan jumlah pengunjung dalam sebulannya berapa. Hanya di kisaran seratusan sekian, bila di jumlah dalam setahun maka hanya akan sampai 1000-an tambah sedikit. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Jember yang mencapai 2 juta lebih dengan 1,8 juta DPT pada Pemilukada 2019. Maka, angka itu sangat kecil, hanya sepersekiannya.
Meski demikian, saya tetap khusnudzon bila generasi bedebah usia 20 sampai 30-an, tidak sekedar mandengi medsos IWJ dan main tik tok. Sebab di Jember ada 2 toko buku besar, Gramedia dan Toga Mas, belum lagi toko buku online serta Perpustakaan di setiap kampus dan sekolah bergengsi. Semoga sepinya Perpusda hanya karena faktor jelimetnya sistem birokrasi dan masyarakat berasumsi minjam buku di Perpusda sama jelimetnya dengan sistem birokrasi--apalagi bila harus bayar. Sehingga, memilih tempat lain untuk melampiaskan nafsu bejat membacanya.
Memang, kegiatan membaca itu membosankan. Saya pun juga sudah jarang membaca, hanya sekedarnya saja bukan menjadi rutinitas. Bila ingin mengajar, mencari inspirasi menulis serta dihadapkan dengan persoalan baru--baru saya dengan sadar membaca buku, mengulik-ngulik buku Pdf di Internet hingga menghabiskan sedikit uang di rekening untuk beli buku.
Sewaktu masih SMA, saya bukan tipikal anak kutu buku. Kelas 2 suka baca komik gara-gara ketularan teman dari Banyuwangi, hampir tiap malam mengulik-ngulik komik di kios pinjaman komik daerah Jalan Gajah Mada, bila sudah khatam cari komik lainnya lagi. Terkadang, baca komik dengan dua tema yang berbeda sekaligus--baca komik menjadi candu kala itu.
Masuk di bangku kuliah, semester satu kehidupan saya layaknya film Ftv, kuliah sebentar setelah itu nongkrong di warung kopi dan ngegame. Semester dua, saya bertemu dengan bedebah yang pandai nyocot meski nyocotnya agak glagapan, satu angkatan walau usianya udah beberapa tahun di atas saya. Olehnya saya diceritakan kehidupan aktivis kampus dan peran mahasiswa, hingga akhirnya saya disodorkan buku 'Dibawah Bendera Revolusi' karya Charlie Adam.
Sejak saat itu, saya seperti dihipnotis, jiwa membaca saya meronta-ronta. Akhirnya, semingu sekali saya mencuri waktu untuk sekedar duduk di Perpustakaan lihat sampul buku. Saya selalu beralibi keluar bila ditanya teman-teman, sebab bila ketahuan main ke Perpus, pasti akan dibully. Karena teman dari Tuban itu, saya ketagihan membaca buku, cerita-cerita menarik yang dibuat hiperbola perjalanan aktivis sebelum maupun sesudah kemerdekaan, membuat saya tertarik ingin menjadi seperti mereka.
Sayangnya, kisah perjalanan aktivis yang memegang teguh idealismenya tidak menyenangkan, hidupnya selalu berada di jalur garis perjuangan. Setelah lulus kuliah, satu tahun lamanya saya masih senang berkumpul dengan para aktivis kampus yang bercita-cita konyol membawa perubahan. Lama-kelamaan, saya bosan. Dan, di titik itu, saya bertemu dengan orang-orang yang hidup di jalan kebahagiaan, menumpuk rupiah lalu bersenang-senang.
"Idealisme tidak akan bertahan dengan perut yang lapar," kata teman saya kala itu. Perkataannya, membuat saya memantapkan diri untuk mengejar harta, bercita-cita menjadi oligarki, setelah tercapai baru kemudian kembali ke jalan perjuangan. Sementara teman bedebah dari Tuban itu, dia istiqomah di jalur perjuangan, menebar virus literasi lewat komunitas Gerakan Tuban Menulis (GTM). Saat ini, sudah memasuki tahun ke-6 GTM menebar virus literasi. Sebagai teman, saya ucapkan selamat hari jadi dan semoga GTM tetap terus eksis mencerdaskan generasi bangsa.