Massa Trump saat memasuki gedung Capitol |
Bila mendengar demokrasi, maka juga akan mendengar Amerika yang disebut-sebut sebagai negara paling demokrasi dan mengklaim sebagai negara percontohan demokrasi paling baik. Rupanya, klaim negara adidaya tersebut tidak benar setelah insiden penyerbuan gedung Capitol oleh pendukung Donald Trump yang disorot dunia.
Sejauh ini, Amerika dinilai paling dewasa dan paling siap menyelenggarakan demokrasi namun fakta berbeda setelah pidato Trump menolak kekalahan atas dirinya dan menyebut kemenangan Joe Biden diwarnai dengan kecurangan.
Sialnya, pendukung fanatik Trump percaya dengan omong kosongnya. Pidatonya yang provokatif bahkan sampai dihapus oleh Facebook dan Tweeter dikhawatirkan menyebabkan kerusuhan kian meluas.
Ini sejarah terburuk bagi Amerika, dimana kongres pengesahan kemenangan Pilpres terpaksa ditunda lantaran gedung Capitol diserbu. Bahkan, insiden pengerusakan gedung Capitol ini sudah kedua kalinya dimana tahun 1814 Inggris membakarnya, kali ini warga Amerika sendiri yang merusaknya setelah massa berhasil memukul mundur brigade polisi.
Wakil Presiden Mike Pence sebagai pemimpin sidang bersama ratusan Dewan Perwakilan Rakyat serta wartawan berhasil diamankan, mereka dibawa keluar gedung sebelum massa berhasil masuk gedung Capitol dan melakukan pengerusakan jendela, pintu dan isi gedung Capitol.
Barangkali, Trump is not good layak didengungkan kepada orang nomor satu di Amerika itu, mengingat cara berfikirnya yang sudah tidak logis setelah dikalahkan Joe Biden. Rekamannya dengan pemimpin wilayah Georgia Raffensperger yang menyebar ke publik meminta suara sekian ribu sungguh tidak masuk akal. Bahkan, sejak dia memimpin pun ada kebijakan dan paling banyak adalah ucapannya yang tidak masuk akal.
Tahun 2014 dan 2019, di Indonesia ada Prabowo Subianto yang lebih dulu mengklaim kemenangan dengan berpedoman pada hasil Quick Count. Tahun 2014 Prabowo melakukan gugatan ke MK sementara tahun 2019 orang nomor satu di Gerindra itu lebih legowo. Bahkan, saat ini Prabowo justru memilih bergabung dengan penguasa.
Meski kalah, Prabowo tidak lantas menggunakam cara frontal untuk melanggengkan ambisinya. Beberapa kali dia mengatakan bahwa dia cinta dengan Indonesia, cerita kekalahan beruntun Prabowo yang memiliki massa fanatik menjadi contoh bahwa Indonesia lebih dewasa dalam berdemokrasi, terutama saat menerima kekalahan.
Meski sebenarnya, hal tersebut tidak bisa dijadikan sandaran baik dan buruknya demokrasi. Tapi, paling tidak menjadi salah satu indikator kedewasaan berdemokrasi.
Amerika, negara yang SDM manusianya sudah di atas rata-rata, seharusnya bisa lebih dewasa menyikapi kekalahan. Namun, politik itu memang tidak logis, fanatisme akan menjadi menyebab matinya nalar berfikir seseorang. Sebagaimana kisah seorang perempuan yang pulang kampung dari Bali ke Jakarta demi mencoblos agar capres yang didukung menang. Setelah menang, dia kecewa dengan lahirnya UU yang bertolak belakang dengan keinginan masyarakat.