Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Rektor Kampus Telah Menyulap tempat KKN di Desa Penari

Senin, September 02, 2019 | September 02, 2019 WIB Last Updated 2021-11-01T11:14:44Z

Foto diambil dari cerita seram KKN

Cerita horor soal sekelompok anak KKN di Desa Penari memang cukup banyak menyita perhatian banyak orang, sebab cerita tersebut penuh dengan teka teki, di mana kebenaran lokasinya dan apakah cerita tersebut benar-benar nyata. Mengingat, proker mereka seolah tidak meyakinkan untuk disebut mahasiswa KKN, meski pada kenyataannya mahasiswa KKN memang tidak jelas tujuannya selain buat gapura dan kolam lele. 

Rasa penasaran kami sepertinya tidak akan terobati sebelum mengetahui di mana letak lokasi yang sesungguhnya. Kami pun memberanikan diri bertamu ke kediaman mantan rektor kampus yang dulunya menjadi rektor masa Nur dan Widiya kuliah.

Beliau menyambut kami dengan baik di rumah besarnya, beliau hanya tinggal berdua dengan keponakannya. Istrinya telah lama meninggal, sebuah lukisan istri beliau yang menurut kami cukup menakutkan terpampang di ruang tengah, lukisan tersebut seolah hidup dan menyambut kami dengan mata mendelik. Tapi, kami berusaha untuk menghilangkan rasa takut supaya suaminya yang sedang duduk bersama kami tidak tersinggung.

"Kalian ada keperluan apa ke sini nak, sudah lama rumah ini tidak ada tamu," ujarnya pada saya dan sahabat saya si Bejo.

"Begini, kek. Maksud kedatangan kami, ingin bertanya lokasi sebenarnya Desa Penari, kek," ujar Bejo langsung menanggapi.

Belum kakek tersebut menjawab, lampu rumah tiba-tiba saja mati. Kami dibuatnya kaget, entah kenapa bulu kuduk kami tiba-tiba merinding. Padahal, sayup-sayup dari rumah sebelah yang agak jauh jaraknya, lampunya hidup, entah kenapa rumah mantan rektor yang besar ini tiba-tiba mati lampu, beliau yang sudah tua, jalannya pun sangat pelan, berjalan ke belakang mengambil lampu keplek.

"Maaf ya nak, rumah ini memang seperti ini, apalagi tadi kalian menyebut Desa Penari, langsung mati lampunya,"

Perkataan kakek membuat kami tambah takut, jangan-jangan kakek ini telah menikahi penarinya dan istrinya sengaja dibunuh atau gendruwo di Desa Penari sengaja kakek bawa untuk menjaga rumahnya namun kemudian istrinya meninggal lantaran ketakutan. Ah taulah, kami benar-benar takut.

"Memangnya kenapa kek, kalau kami menyebut Desa Penari? apa hubungannya dengan kematian lampu rumah ini kek?," Bejo kembali bertanya.

Pertanyaan Bejo tidak kakek jawab, sambil batuk-batuk ia mencoba membetulkan tempat duduknya. Lampu keplek yang milip-milip, membuat suasana rumah tambah terasa menyeramkan. Apalagi, rumahnya sangat luas dan besar, di sebelah kanan kami duduk, ada tangga menuju lantai dua, tepat di tengah tangga, kami dibuat kaget dengan sosok perempuan berbaju putih dengan rambut yang panjang berjalan ke atas dengan pelan.

"Apa kakek punya pembantu perempuan kek," tanya Bejo.

"Kakek hanya tinggal dengan keponakan, nak. Dia ada di kamarnya tidak bisa ke mana-mana, semenjak orang tuanya meninggal, saya mengasuhnya, meski ia dalam keadaan koma, tapi sudah kakek anggap sebagai anak sendiri,''

"Lalu, anak kakek ke mana semua kek," Bejo kembali bertanya, memotong pembicaraan kakek yang terbata-bata.

Agak lama terdiam, beliau menatap langit-langit rumah, seolah tidak percaya anak-anak kesayangannya akan meninggalkannya, samar-samar kami melihat kakek menangis meneteskan air mata, meski tidak mengeluarkan suara tangisan tapi kami dapat melihatnya dengan jelas air mata yang membasahi pipinya.

"Setelah enam mahasiswa kakek KKN di Desa Penari, keluarga kakek mulai mengalami keretakan, kakek sering bertengkar yang kemudian istri kakek meninggal. Anak kakek menuduh kakek yang menjadi penyebab meninggalnya istri kakek, ketiga anak kakek semuanya telah berkeluarga dan memilih jalan hidupnya masing-masing, semenjak berkeluarga mereka sudah tidak pernah ke sini, paling hanya ke makam ibunya, tidak mampir ke rumahnya, mungkin mereka sudah lupa dengan ayahnya yang masih hidup ini," cerita kakek, sambil mengehela nafas, kakek melanjutkan ceritanya. "Kakek tidak mengerti, kenapa keenam mahasiswa kakek bisa-bisanya memilih tempat Desa Penari, bila kalian ingin tau lokasi Desa Penari, datanglah kemari hari Jum'at besok, pagi sekali ya nak, kakek antarkan ke sana dengan mobil kakek, sekarang sudah malam, kakek ingin istirahat,"

Dalam perjalanan pulang, kami bertanya-tanya, kenapa harus hari Jum'at berangkat ke sana, Bejo diselimuti rasa penasaran, sesekali ia mengungkapkan rasa takutnya pada saya, ia khawatir bila dirinya akan ditumbalkan ke Desa Penari. Kami juga bertanya-tanya mengapa sedemikian baiknya mantan rektor yang sudah tua tersebut sampai bersedia mengantarkan kami ke sana, beragam bertanyaan memenuhi kepala kami. Apalagi, munculnya sosok perempuan di tangga, Bejo berkata pada saya bila juga melihat sosok perempuan di tangga tadi, namun jawaban kakek membuat kami tambah dihantui pertanyaan, siapakah perempuan di tangga tersebut, hantu atau kah simpanan kakek. Tapi, meskipun itu hantu, sama sekali tidak mengendorkan niat kami untuk mengetahui lokasi sebenarnya Desa Penari, agar tidak terus-terusan dihantui rasa penasaran.

Hari Jum'at pagi, kami berangkat ke kediaman kakek, sampai di sana sekitar pukul 06.00 pagi, embun masih tebal dan hawa dingin menusuk-nusuk kulit kami. Sebelum mengetok pintu, kakek sepertinya sudah tau kedatangan kami, beliau membukakakn pintu lebih dulu dan mempersilahkan kami berdua masuk. Di ruang tamu, kami sudah di sediakan teh hangat dan makanan ringan pengganjal perut.

"Minum dulu tehnya, nak. Biar kakek memanasi mobil dulu," kata kakek yang kemudian pergi ke garasi mobil.

Selain manahan rasa dingin, kami juga menahan rasa takut, khawatir dan was-was. Bila nanti, kami akan bernasib sama dengan sekelompok mahasiswa KKN itu, terjerembab dalam dunia mistis karena tidak dikehendaki penghuni lelembut desa, kami berharap semoga dalam tubuh kami tidak ada penunggunya seperti Nur, sehingga sesampainya di sana Pak Prabu menyambut kami dengan tenang.

"Ayo nak, kita berangkat," kata kakek mengagetkan kami yang sedang menikmati seduhan teh hangat

Betapa kagetnya kami, bila mobil yang akan membawa kami ke Desa Penari termasuk jajaran mobil termahal di dunia, yakni Zenvo ST1. Mobil produksi Swiss dengan tenaga diatas 1000 Hp, harganya pun sangat tidak terjangkau untuk ukuran dua orang pemuda yang pekerjaannya hanya menulis cerita tidak jelas, 24 Milyar.

"Apa muat kek bertiga, ini mobil kan cukup untuk dua orang," kata saya. Beliau hanya menimpali pertanyaan saya dengan tersenyum, lalu masuk ke mobilnya, rupanya, kursi yang akan kami duduki bisa secara otomatis mundur ke belakang, sehingga tempat duduknya agak panjang, kami berdua duduk seperti dua orang yang sedang mengendarai sepeda motor.

Benar-benar mobil super canggih, kami yakin Calon Bupati Jember yang akan datang tidak ada yang memiliki mobil secanggih dan semahal ini, pastinya kekayaan mereka terbatas, paling-paling masih minta sumbangan ke pengusaha. Ah, pikiran kami melayang ke mana-mana, baru kali ini kami bisa naik mobil seperti ini. 

Mobil melaju kencang, kami seperti sedang tidak naik mobil, dari dalam sama sekali tidak terdengar suaranya. Padahal, sewaktu masih dipanasi tadi oleh kakek suaranya terdengar keras seperti deru kapal terbang. Dulu, sewaktu masih kecil bersama teman kami sering membayangkan Burok, kendaraan yang digunakan penghuni surga. Konon, dalam sekedipan sudah sampai tujuan, mengendarai mobil super mewah ini, kami serasa naik Burok.

Sekitar dua jam kemudian, kakek membangunkan kami yang tertidur pulas, "Nak, sudah hampir sampai," katanya sambil tangan kirinya menepuk pundak saya.

Kami pun terbangun, suasananya tidak seperti yang diceritakan dalam perjalanan kelompok KKN Widiya dan Nur. Di mana kendaraan yang mengantar Nu melewati hutan dan disambut dengan penari serta hal-hal yang menyeramkan. Kami justru disambut dengan kendaraan alat berat yang hilir mudik bersalipan, tidak ada hutan apalagi makam yang batu nisannya ditutupi kain kafan hitam, rumah penduduk sudah tidak ada, apalagi rumah Pak Prabu, sudah sirna. Tempat-tempat kramat semacam petilasan atau tempat yang diberi sesajen sudah tidak ada, hanya pemandangan gersang dengan pabrik yang besar sedang beroperasi.

"Kita sedang berada di mana kek," kata Bejo bertanya-tanya.

"Ini Desa Penari nak," ujar kakek menjawabnya singkat. Lalu, kakinya melangkah ke sebuah rumah, bukan, tapi kantor, sepertinya itu kantor untuk pabrik tersebut.

"Ayo masuk nak,"

Kami pun masuk, betapa tercengangnya kami ketika di dalam sudah ada beberapa orang penting di negeri ini. Salah satunya seorang politisi yang tak asing di telinga, ia berasal dari Simargala, Huta Namora, Silaen, Toba Samosir, Sumatra Utara. Satunya lagi, pengusaha sukses yang sempat jadi Cawapres namun gagal duduk di singgasana, satunya lagi juga pengusaha sekaligus politisi tapi tidak begitu kami kenal. Beberapa orang lainnya, hanyalah pengawal pribadinya yang berdiri di belakangnya.

Kakek tersebut seolah tidak canggung berbicara dengan mereka, sepertinya kakek sudah sering bertemu dan berkomunikasi.  
"Perkenalkan, ini rekan bisnis kakek," Kami pun menjabat tangan mereka satu persatu, sambil memperkanalkan diri.

"Nak, tidak perlu kaget. Dulu, memang ini Desa Penari tempat Widiya dan Nur KKN. Tapi, semenjak mereka usai KKN, saya meyakini ada hal besar di desa ini. Saya pun melakukan penelitian, rupanya benar, di sini terkandung tambang yang tidak kalah besar dengan freeport. Akhirnya, kami menyulap hantu-hantu itu menjadi alat berat, kami juga beri pesangon dan rumah untuk Pak Prabu di kota supaya hidupnya lebih tertata, besarta warga lainnya, nak," 

"Jiangkrikkkk, dadi saiki dadi tambang toh," tiba-tiba Bejo misuh dengan lantang, sebagai aktivis kontra tambang, amarah Bejo tiba-tiba meledak-ledak. Kakek hanya tertawa dengan yang lainnya melihat Bejo kesal dan marah. Bahkan, ia mengeluarkan segepok uang dari balik sakunya, ambillah nak, bawalah pulang, ceritakan pada teman-teman mu, bahwa hantu di Desa Penari sudah kami sogok, mereka telah kami usir secara halus, kami gantikan dengan hantu-hantu yang lebih real dan lebih menakutkan, bukan hanya untuk mu melainkan juga seluruh keturunan mu kelak.

Bejo berdiri, ia menggeret tangan saya, kemudian kami keluar. 

"Taekkkkk," kata Bejo kembali mengumpat, rasa kekesalannya terus ia keluarkan lewat umpatan selama perjalanan. Kami tidak tau jalan pulang, sebelum kami menemukan pangkalan ojek, dan mengantarkan kami ke bandara. 

"Kok, ke bandara?" tanya Bejo.

"Biar lebih cepat Joo," jawab saya spontan.

"Emang kamu punya duwit?" Bejo kembali bertanya.

"Sudah jangan banyak tanyak, nanti kita pesan tiket di sana lalu pulang ke Jember," kata saya. Bejo tidak tau, bila saya sewaktu di kantor tambang, sempat mengambil segepok uang pemberian kakek, mayan.

SEKIAN. 
×
Berita Terbaru Update