Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan tahun 2002 melalui undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai lembaga superbody lantaran lembaga lainnya terlihat setengah hati menangani berbagai kasus tindak pidana korupsi. Dikatakan superbody sebab lembaga ini berdiri secara independent, tidak masuk dalam trias politica dan sengaja dirancang untuk memberangus panyakit paling dibenci seluruh rakyat Indonesia--korupsi.
Sejak pertama berdiri, KPK langsung tancap gas dan berhasil membongkar sejumlah kasus korupsi, salah satunya kasus dugaan penyalahgunaan jabatan oleh Kepala Bagian Keuangan Dirjen Perhubungan Laut dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp10 miliar lebih. (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka Drs. Muhammad Harun Let Let dkk (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi_Republik_Indonesia).
Wajar bila kemudian banyak orang dan kelompok yang membenci lembaga ini, seolah KPK menjadi musuh bersama, sehingga tidak sekedar dilemahkan melainkan juga berusaha dibunuh secara pelan-pelan, terlebih dengan hadirnya revisi UU KPK. Sebelumnya, bahkan ada wacana pembubaran KPK dan menjadikan KPK sebagai lembaga adhoc.
Berikut deretan upaya pelemahan KPK sebagaimana dikutip dalam Tempo.co yang dimuat tanggal 18 Juni 2017 dengan judul '8 Upaya Pelemahan KPK Oleh DPR Menurut Catatan ICW' :
1. Penolakan anggaran KPK. Pada 2008, DPR sempat menolak untuk memberikan anggaran kepada KPK yang ingin membangun gedung baru. Padahal gedung KPK sudah melewati kapasitas yang membuat kerja mereka tidak lagi efektif. Penolakan ini akhirnya mendorong gerakan "Saweran untuk KPK". Selain gedung KPK, DPR juga pernah menolak anggaran untuk pembentukan 5 perwakilan KPK di daerah dan pembentukan komunitas antikorupsi.
2. Mendorong wacana pembubaran KPK. Rapat konsultasi antara DPR, Polri, Kejaksaan, dan KPK pada 2011 sempat menghasilkan wacana untuk membubarkan lembaga antirasuah ini. Dasarnya adalah pandangan Fahri Hamzah yang menganggap KPK tidak maksimal dalam menangani korupsi.
3. Mendorong wacana KPK sebagai lembaga adhoc. Ketua DPR Marzuki Alie pada 2011 menyatakan KPK sebagai lembaga adhoc atau bersifat sementara. Hal ini dimaknai jika kejaksaan dan kepolisian sudah dinilai efektif, maka KPK tidak perlu ada.
4. Pelemahan melalui proses legislasi. Dalam catatan ICW, sejumlah partai politik di DPR mengusulkan dan membahas revisi undang-undang KPK sudah dimulai sejak 2011. Sejumlah naskah revisi yang selama ini beredar hampir dipastikan akan mendelegitimasi KPK. Mulai dari aturan KPK berhak menerbitkan SP3, membatasi perekrutan penyidik independen, penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas, sampai membatasi usia KPK hanya 12 tahun. Selain itu DPR juga berupaya melemahkan KPK melalui revisi KUHP dengan memasukkan delik korupsi dalam rancangan tersebut. Jika usulan ini disahkan, maka korupsi tidak lagi dinilai sebagai kejahatan extraordinarycrime.
5. Intervensi dalam proses penyidikan dan penuntutan. Pada 2011, Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin mengakui pimpinan lembaga antirasuah kerap mendapatkan intervensi dari anggota DPR saat menangani sejumlah kasus korupsi. Intervensi itu kadang dilancarkan melalui telepon atau rapat dengar pendapat.
6. Menyandera proses seleksi calon pimpinan KPK di DPR. DPR pernah menunda pemilihan satu dari dua nama calon pimpinan KPK hingga pertengahan Januari 2015. Kedua calon itu telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR untuk menggantikan Busyro Muqoddas sebagai wakil Ketua KPK yang berakhir pada 8 Desember 2014. Pada akhir 2015, Komisi III DPR juga pernah menolak usulan 8 komisioner KPK yang telah dipilih panitia seleksi dengan alasan tak ada satu pun calon dari kejaksaan yang lolos seleksi.
7. Pengajuan keberatan terhadap proses pencegahan pimpinan DPR. Nama Setya Novanto muncul dalam dakwaan dua tersangka korupsi e-KTP. Ia disebut-sebut turut menikmati aliran dana korupsi. KPK pun menetapkan status cegah pada Setya. Namun, penetapan status ini tidak bisa diterima oleh DPR. Beberapa anggota Dewan sempat berwacana untuk mengirim surat keberatan kepada Presiden Joko Widodo.
8. Pengajuan hak angket. ICW menilai pembentukan panitia hak angket terhadap KPK adalah bola liar yang berujung pada pelemahan bahkan pembubaran KPK. Sebab, sejak awal pembentukan panitia ini didasari atas motif politik, cacat prosedur, bertentangan dengan undang-undang, dan kental nuansa balas dendam. Angket ini dilatarbelakangi penolakan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, saksi korupsi e-KTP, yang mengatakan diancam oleh anggota DPR agar tidak mengatakan yang sebenarnya.
Berbagai upaya melemahkan KPK akan terus berlanjut seiring dengan kegarangan KPK dalam memberangus kasus korupsi. Mereka berikhtiar merusak citra KPK dan akan terus berupaya untuk membubarkannya walau pun selama ini tidak pernah kesampaian. Meski demikian dalam jangka waktu dekat KPK tidak akan kuat seperti sebelumnya, sebab adanya revisi UU KPK yang mendapat surpres Presiden kali ini, bakal benar-benar terealisasikan, sekian pasal membuat lembaga antirasuah tersebut mati kutu.
Apabila ingin melakukan penyadapan harus melalui proses perijinan lebih dulu ke Dewan Pengawas. Sementara, Dewan Pengawas dibentuk oleh DPR yang tidak lain kepanjangan tangan parpol, bukan tidak mungkin penyadapan dan segala bentuk penindakan korupsi akan bocor. Selain itu, publik sudah tau lah bagaimana kasus buaya versus cicak, antara KPK versus Polri, namun kemudian proses perekrutan penyidik harus dari unsur kepolisian, apa kata dunia?
Di Kabupaten Jember, sejumlah aktivis yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Koalisi Anti Korupsi (SKAK) melakukan long march mulai double way kampus Unej sampai bundaran depan kantor DPRD Jember. Aktivis yang tergabung dalam SKAK meliputi Forum Wartawan Lintas Media (FWLM), Aliansi Jurnalis Independent (AJI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Korlap aksi, Trisna Yuni Dwi Arasta mengatakan, "Revisi UU KPK memang masuk dalam Prolegnas tapi tidak masuk dalam 55 undang-undang yang dijadikan sebagai prioritas tahunan. Namun, tiba-tiba muncul revisi undang-undang dan terkesan terburu-buru," "Kami juga menyayangkan sikap presiden yang mengeluarkan surprise kepada DPR yang menandakan bahwa revisi ini mendapat persetujuan dari presiden," kata Yuni disela-sela aksi.
Revisi UU KPK tersebut, menurut Yuni di dalamnya banyak pasal yang melemahkan, kehadiran pasal demi pasal tersebut menjadikan KPK seolah-olah bukan lembaga yang independent lagi. "Dipaksakan untuk masuk pada trias politica, dipaksakan masuk ke lembaga eksekutif," kata Yuni. Yuni menjelaskan, ada pasal yang mengharuskan karyawan KPK dijadikan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan juga Aparatur Sipil Negara (ASN). Sehingga, KPK tidak independent lagi, terlebih adanya Dewan Pengawas.
"Adanya penyadapan harus ijin kepada Dewan Pengawas, perekrutan penyidik harus dari kepolisian," terang Yuni. Oleh sebab itu, Yuni bersama SKAK melakukan demonstrasi untuk menyadarkan masyarakat supaya bersama-sama bergandengan tangan menolak revisi UU KPK. "Kami menuntut dibatalkan revisi UU KPK, kalau mau revisi silahkan revisi tapi jangan pada waktu dekat-dekat ini, sebab merupakan keterburu-buruan menurut kajian kami, silahkan limpahkan kepada DPR yang baru dilantik," ungkap Yuni.
Tidak hanya di Kabupaten Jember, di sejumlah daerah juga berbagai elemen melakukan demonstrasi serupa--menolak revisi UU KPK. Bahkan, ketua PB HMI menginstruksikan seluruh kadernya melakukan demonstrasi serentak secara nasional. Tapi, apakah suara publik ini bakal di dengarkan atau diabaikan, itu tergantung nurani mereka, apakah nurani mereka telah mati atau memang mental korup mereka lebih dominan dibandingkan nurani kebaikan dalam diri mereka, wallahua'lam... Penulis: Robith Fahmi Wartawan di MAJALAH-GEMPUR.Com